Lautan
bertumpah air nan biru, Daratan bertimbun tanah nan dalam, Gunung terpaku kuat
nan kokoh, Langit berseri cerah nan awal, dan Sungai bergerak mengalir nan
tersebar. Pemandangan……. Marilah kita melihatnya.
Karunia tuhan tak akan pernah ku
lupakan, mata. Gerbang Ku berkomunikasi dengan dunia. Mata ini, tak hentinya
memandang pemandangan yang indah. Ingin semua terus terlahap oleh sejuta frame
pemandangan. Lukisan tuhan tak henti-hentinya membuatku terkagum.
Seluas alam raya, sekitar manusia
saling terbangun keindahan. Berupa bangunan kokoh nan berdiri, lukisan bergaris
nan warna, photo tajam nan focus, kursi terpahat nan terbentuk, dan lampu
terpancar nan terang. Berupa keindahan buatan manusia, kadang berpandu indah
dengan ciptaan tuhan. Jempatan panjang nan kokoh berpadu manis dengan aliran
sungai lebar nan dalam. Begitulah komunikasi keindahan manusia dengan tuhannya,
tuhan sendiri mencintai keindahan.
Tak hanya buatannya disekitarnya,
manusia menciptakan suasana sekitarnya. Antara espresi, kata, dan gerak
mengalir dalam perbuatannya. Espresi senyum nan tulus, kata mutiara nan bijak,
dan gerakan lincah nan menawan. Lengkaplah sudah keindahaan dunia ini, dari
ciptaan tuhannya, buatan manusia, dan manusia itu sendiri. Bukannya manusia
tercipta agar membuat dunia ini indah.
Diantara bermacam-macam keindahan,
sebenarnya diriku hanya memalingkan wajah. Ada apa di belakang diriku sampai
diriku memalingkannya? Bukannya dunia ini tercipta untuk keindahan? Padahalnya,
belakang diriku banyak kehancuran. Manusia bermuka merah saling menyerang,
senjata laras panjang saling berdesing peluru tajam, bangunan hancur lebur dari
ledakan roket, dan lingkungan rusak tak terbayang oleh perang. Itu barulah
pemandangan perang, bagaimana dengan Negara bagian ketiga. Maukah kau intip
sebentar, hanya mengintip anak kecil perutnya buncit, padahal tulangnya
berbalut tulang. Akhirnya diriku hanya memalingkan semua itu, karena ku sendiri
tak suka kehancuran.
Sudahlah, dunia ini memang indah
sebagian saja. Bukannya masih ada bagian dunia ini yang indah. Dengan keilmuan
yang kita bisa miliki, Kita bisa menjelajah sejauh planet berorbit, tapi ilmu kita
tak sebanding mendalami dasar bumi ini. Begitulah, Sejauh-jauhnya kita
menjelajahi dunia ini, sedalam apakah kita mendalami hati sendiri? Pendek ,
karena kerasnya hati kita sama dengan kerasnya permukaan bumi ini. Coba
tanyakan dirimu, sambillah bercermin. Apakah kau tulus berbuat sesuatu demi
kebaikan? Apakah tak ada niat terselubung atas perbuatanmu? Apakah senyummu
menutup kesedihanmu? Itu akan terjawab semua, sedalam apa kau mengenal dirimu.
Karena ketika kita menjelajahi dunia ini, kita semakin kecil dengan dunia ini.
Tetapi ketika kita mendalami hati ini, kita semakin tak mengenal diri sendiri.
Karena sadar kurangnya tulus kita berbuat.
Mau tahu kenapa kita kadang
bermaling dari keburukan? Itu bukan darilah kebencian, apalagi dari kasih sayang.
Namun itulah hati yang hampa, tak ada kepedulian.