Sunday, March 20, 2016

The Viewer



Lautan bertumpah air nan biru, Daratan bertimbun tanah nan dalam, Gunung terpaku kuat nan kokoh, Langit berseri cerah nan awal, dan Sungai bergerak mengalir nan tersebar. Pemandangan……. Marilah kita melihatnya.

Karunia tuhan tak akan pernah ku lupakan, mata. Gerbang Ku berkomunikasi dengan dunia. Mata ini, tak hentinya memandang pemandangan yang indah. Ingin semua terus terlahap oleh sejuta frame pemandangan. Lukisan tuhan tak henti-hentinya membuatku terkagum.

Seluas alam raya, sekitar manusia saling terbangun keindahan. Berupa bangunan kokoh nan berdiri, lukisan bergaris nan warna, photo tajam nan focus, kursi terpahat nan terbentuk, dan lampu terpancar nan terang. Berupa keindahan buatan manusia, kadang berpandu indah dengan ciptaan tuhan. Jempatan panjang nan kokoh berpadu manis dengan aliran sungai lebar nan dalam. Begitulah komunikasi keindahan manusia dengan tuhannya, tuhan sendiri mencintai keindahan.

Tak hanya buatannya disekitarnya, manusia menciptakan suasana sekitarnya. Antara espresi, kata, dan gerak mengalir dalam perbuatannya. Espresi senyum nan tulus, kata mutiara nan bijak, dan gerakan lincah nan menawan. Lengkaplah sudah keindahaan dunia ini, dari ciptaan tuhannya, buatan manusia, dan manusia itu sendiri. Bukannya manusia tercipta agar membuat dunia ini indah.

Diantara bermacam-macam keindahan, sebenarnya diriku hanya memalingkan wajah. Ada apa di belakang diriku sampai diriku memalingkannya? Bukannya dunia ini tercipta untuk keindahan? Padahalnya, belakang diriku banyak kehancuran. Manusia bermuka merah saling menyerang, senjata laras panjang saling berdesing peluru tajam, bangunan hancur lebur dari ledakan roket, dan lingkungan rusak tak terbayang oleh perang. Itu barulah pemandangan perang, bagaimana dengan Negara bagian ketiga. Maukah kau intip sebentar, hanya mengintip anak kecil perutnya buncit, padahal tulangnya berbalut tulang. Akhirnya diriku hanya memalingkan semua itu, karena ku sendiri tak suka kehancuran.

Sudahlah, dunia ini memang indah sebagian saja. Bukannya masih ada bagian dunia ini yang indah. Dengan keilmuan yang kita bisa miliki, Kita bisa menjelajah sejauh planet berorbit, tapi ilmu kita tak sebanding mendalami dasar bumi ini. Begitulah, Sejauh-jauhnya kita menjelajahi dunia ini, sedalam apakah kita mendalami hati sendiri? Pendek , karena kerasnya hati kita sama dengan kerasnya permukaan bumi ini. Coba tanyakan dirimu, sambillah bercermin. Apakah kau tulus berbuat sesuatu demi kebaikan? Apakah tak ada niat terselubung atas perbuatanmu? Apakah senyummu menutup kesedihanmu? Itu akan terjawab semua, sedalam apa kau mengenal dirimu. Karena ketika kita menjelajahi dunia ini, kita semakin kecil dengan dunia ini. Tetapi ketika kita mendalami hati ini, kita semakin tak mengenal diri sendiri. Karena sadar kurangnya tulus kita berbuat.

Mau tahu kenapa kita kadang bermaling dari keburukan? Itu bukan darilah kebencian, apalagi dari kasih sayang. Namun itulah hati yang hampa, tak ada kepedulian.