Sunday, April 17, 2016

The Reader


“Dilihat memang paling diam, didengar memang paling sunyi, diraba memang paling datar. Namun jika dibaca, bertolak itu semua.”

Begitulah kehidupan cap kutu buku, dipandang paling diam. Mereka tak pernah dipandang suatu kesibukan. Tak tertampak mereka sebuah pekerjaan, sedangkan mereka malah asik mendiamkan sekitarnya. Kebisingan TV ia kecilkan, bahkan jika tetap terdengar keras seakan tak ada suara apa-apa. Bahkan keindahan alam tak ada apa-apanya banding tulisan hitam berkertas putih.   Lembutnya bantal sang penghanyut tidur tak ada apa-apanya banding kertas datar yang membuatnya tak tidur-tidur. Ketika itu terjawab, ketika kita membacanya.

Apa yang menjanjikan dalam sebuah bacaan?
Pembodohan

Bodoh, seakan kita tak tahu apa-apa. Itu mungkin tak tergambarkan dalam sekali bacaan, bahkan banyaknya bacaan. Itu lahir ketika kita baca selaras apa yang kita alami. Padahal dengan membaca kita mengetahui, namun kenapa merasa tetaplah kurang. Akhirnya kita membaca yang lain secara terus-menerus. Seakan tak cukup, akhirnya kita cari pengalaman tersebut. Tak cukup, kita cari terus keinginan tahuan kita. Akhirnya kita merenung dan sadar, bahwa kita hanyalah makhluk yang bodoh. Makhluk yang tak tahu apa-apa banding tuhannya.

Kembali lagi diantara keheningan buku, kenapa buku begitu berisik ketika dibacakan?

Ketika buku dibacakan, buku tersebut berteriak keras di otak kita. Lantas kau tutup buku tersebut, tetap tak bisa menghentikan teriakannya. Begitulah memori, tak hanya mendengar jeritan buku, namun juga pengelihatan, aroma, perabaan, nuansa, dan bahkan perasaan. Sejatinya ketika kita membaca buku, buku itu telah bercakap dengan kita. Lantas kenapa kita rela mendengar teriakan tersebut setebal buku.

Kita berpikir, jika berkomunikasi. Kita haruslah berkata balik. Namun itu tak terjadi dalam membaca, kita malah terus berusaha menjadi pendengar yang baik. Buku terus-menerus berteriak lebih cerewetnya seorang ibunda, namun kita malah makin setia mendengarnya. Karena perlahan kita tak tahu, menjadi lumayan tahu, kemudian tahu, setelahnya amat tahu. Namun pengetahuan tersebut memposisikan kita makin kurang tahu tentang dunia ini. Aneh, makin aneh kita melanjutkan bacaan buku lain.

Berpindah satu buku ke buku lain. Berpindah buku beda tema atau penulis. Kita mengulangi siklus ketahuan kita.  Akhirnya terciptalah sebuah rantai hubungan antara buku ini dengan buku lainnya. Terhubung antara persamaan pandangan, perbedaan pandangan, kesamaan teori, perbedaan teori, dan kesamaan perbedaan yang berhubungan. Akhirnya rantai tersebut mencipta kesadaraan, bahwa begitu beraneka pandangan seseorang. Itu lahir dari bedanya kacamata kehidupan setiap orang. Ketika kita mengetahui macam sudut pandang kehidupan, sikap subjektifitas kita akanlah pudar. Namun itu makin memposisikan kita atas ketidaktahuan atas dunia ini.

itu apa? Bendera. Bendera untuk apa? Lambang Negara. Negara itu apa? Suatu tempat yang ada kekuasaan. Dan terus menerus bertanya-tanya dilontarkan, itulah sejati bentuk komunikasi kita terhadap buku. Bukanlah berkata balik, namun bertanya dengan diam terus membaca. Sialnya, siklus pengetahuan kita hanya melahirkan lobang-lobang pertanyaan hidup ini. Namun kenapa mereka tak lelah bahkan berhenti membaca? Bahkan semakin gencarnya mereka membaca. Alasan kuat demi memperkuat niat, lantaran bersyukur kepada Allah. Kalau kita bersyukur karena Allah hanyalah tuhan apakah sama dengan mereka yang bersyukur karena Allah sang pengcipta alam semesta yang maha akurat. Bukanlah ibadah akan semakin sempurna jika kita semakin tahu sunnahnya dan faedahnya. Bukanlah kita akan semakin banyak langkah strategi untuk berbisnis dengan macam problem.

Begitulah
Semurni-murninya Tauhid, Setinggi-tinggi Ilmu, dan Secerdik-cerdiknya Siasat.
Jika tak dimulai dengan “Iqro, Bacalah!”.

No comments:

Post a Comment