Sang Penghubung |
The Linker
Sampai juga, di rumahnya. Ku lihat hanyalah sebuah tembok
yang menjulang tinggi seakan bersatu dengan langit. Ku tengok sana-sini, hanya
dinding melebar tak berujung seakan sisi dinding kiri dan kanan saling bersatu.
Ku pandang depan rumahnya, tak ada jendela bahkan lubang agar ku intip isi
rumahnya tersebut. Hanya sebuah pintu kayu berganggang satu yang terkunci dari
dalam. Ku ketuk rumahnya tersebut.
Kau yang tertidur dalam rumahnya, tepatnya ruang tamu kau
tinggal. Kini kau tak nyenyak atas tidurmu, karena ada suara dari luar
mengganggumu.
“Assalammualaikum..”
Jumpa dari pesanku, namun tak ada reaksi darinya. Mungkin ku
harus menunggunya, entah sampai kapan ku menunggu? Jika hanya masa depan
sebagai jawabnya.
Telingamu mendengarnya, sebuah salam dari luar rumah.
Kau membuka matamu, menggeleng kepalamu,
dan membangkitkan tubuhmu. Kau sadar ada tamu yang datang, padahal dirimu juga
tamu di rumah ini. Namun kembali lagi dengar suara salamku tersebut yang
kembali terdengar lagi.
“Assalammualaikum Warahmatullah..”
Aku kembali mengatakannya, mungkin saja dia tak mendengarnya.
Mungkin agak berlebihan, namun aku harus mengulang pesan ini, takut tak
tersampaikan pesan ini. Bukannya banyaknya saudara kita terputus hubungannya,
hanya karena salamnya terabaikan.
Kau kembali mendengarnya dengan keadaan sadar. Kau sadar ini
bukan salam yang salah. Namun kau agak ragu dengan salam tersebut, walaupun
salam itu terdengar jelas. Bukannya banyak fitnah diantara kita, karena dari
salahnya kita mengetahui. Karena asalnya kita mendengar salam tersebut, jadi
datangi sumber sesungguhnya. Akhirnya, kau melangkah ke sumber suara.
“Assalammualaikum Warahmatullah Wabarakatu..”
Aku kini teriakan pesanku sekali lagi, lebih jelas dan
lantang. Walaupun sepertinya ia tak benar-benar mendengarkannya. Kini aku hanya
berharap siapapun mendengar pesan ini, siapapun orangnya di dalam rumah
tersebut. Namun aku hanya dusta lahir diantara kita. Lantara suaraku dianggap
sebuah polusi suara, padahal aku hanya pesan ini tersampaikan.
Kau harus lari, ia tak tahu karena kini sedang pergi.
Salamnya jelas. Lari diatas lantai, tangga, dan kau buka tersebut. Kau akhirnya
melihatku. Sang sumber suara, salam.
Akhirnya pesanku terdengar. Walaupun bukan ia yang ku maksud,
tapi kau adalah orang dari rumahnya. Pesan ini aku beri ke kau, sambil ucapan
dariku berkata.
“Titip salam dari ku untuk ia.”
****************************************
Kisah ini belum selesai, karena kau sekarang menjadi aku. Salam
kau dapat adalah pesan tersebut. Siapakah ia yang akan menerimanya? Ialah ia
yang namanya tertulis “Muslim”, walaupun tak selalu tertulis dalam KTP. Bukannya
nama tersebut tersanding dalam catatan buku amal para malaikat Raqib. Di jauh waktu
sampai tercatat nama “muslim” di catatan amal, ia terlahir sudahlah fitrah. Maukah kau kembalikan fitrah manusia. Hanya
salam ini agar mereka kembali, salam sejahtera, rahmat, dan berkah artinya
lebih tinggi dari sebuah kebahagian semu dunia.
Ku mohon kembali, titipkan salamku untuk ia.
No comments:
Post a Comment