“Dilihat memang paling diam,
didengar memang paling sunyi, diraba memang paling datar. Namun jika dibaca,
bertolak itu semua.”
Begitulah kehidupan cap kutu buku,
dipandang paling diam. Mereka tak pernah dipandang suatu kesibukan. Tak
tertampak mereka sebuah pekerjaan, sedangkan mereka malah asik mendiamkan
sekitarnya. Kebisingan TV ia kecilkan, bahkan jika tetap terdengar keras seakan
tak ada suara apa-apa. Bahkan keindahan alam tak ada apa-apanya banding tulisan
hitam berkertas putih. Lembutnya bantal sang penghanyut tidur tak ada
apa-apanya banding kertas datar yang membuatnya tak tidur-tidur. Ketika itu
terjawab, ketika kita membacanya.
Apa yang menjanjikan dalam sebuah
bacaan?
Pembodohan
Bodoh, seakan kita tak tahu
apa-apa. Itu mungkin tak tergambarkan dalam sekali bacaan, bahkan banyaknya
bacaan. Itu lahir ketika kita baca selaras apa yang kita alami. Padahal dengan
membaca kita mengetahui, namun kenapa merasa tetaplah kurang. Akhirnya kita
membaca yang lain secara terus-menerus. Seakan tak cukup, akhirnya kita cari
pengalaman tersebut. Tak cukup, kita cari terus keinginan tahuan kita. Akhirnya
kita merenung dan sadar, bahwa kita hanyalah makhluk yang bodoh. Makhluk yang
tak tahu apa-apa banding tuhannya.
Kembali lagi diantara keheningan
buku, kenapa buku begitu berisik ketika dibacakan?
Ketika buku dibacakan, buku
tersebut berteriak keras di otak kita. Lantas kau tutup buku tersebut, tetap
tak bisa menghentikan teriakannya. Begitulah memori, tak hanya mendengar
jeritan buku, namun juga pengelihatan, aroma, perabaan, nuansa, dan bahkan
perasaan. Sejatinya ketika kita membaca buku, buku itu telah bercakap dengan
kita. Lantas kenapa kita rela mendengar teriakan tersebut setebal buku.
Kita berpikir, jika berkomunikasi.
Kita haruslah berkata balik. Namun itu tak terjadi dalam membaca, kita malah
terus berusaha menjadi pendengar yang baik. Buku terus-menerus berteriak lebih
cerewetnya seorang ibunda, namun kita malah makin setia mendengarnya. Karena
perlahan kita tak tahu, menjadi lumayan tahu, kemudian tahu, setelahnya amat
tahu. Namun pengetahuan tersebut memposisikan kita makin kurang tahu tentang
dunia ini. Aneh, makin aneh kita melanjutkan bacaan buku lain.
Berpindah satu buku ke buku lain.
Berpindah buku beda tema atau penulis. Kita mengulangi siklus ketahuan
kita. Akhirnya terciptalah sebuah rantai
hubungan antara buku ini dengan buku lainnya. Terhubung antara persamaan
pandangan, perbedaan pandangan, kesamaan teori, perbedaan teori, dan kesamaan
perbedaan yang berhubungan. Akhirnya rantai tersebut mencipta kesadaraan, bahwa
begitu beraneka pandangan seseorang. Itu lahir dari bedanya kacamata kehidupan
setiap orang. Ketika kita mengetahui macam sudut pandang kehidupan, sikap
subjektifitas kita akanlah pudar. Namun itu makin memposisikan kita atas
ketidaktahuan atas dunia ini.
itu
apa? Bendera. Bendera untuk apa? Lambang Negara. Negara itu apa? Suatu tempat
yang ada kekuasaan. Dan terus menerus bertanya-tanya dilontarkan, itulah sejati
bentuk komunikasi kita terhadap buku. Bukanlah berkata balik, namun bertanya
dengan diam terus membaca. Sialnya, siklus pengetahuan kita hanya melahirkan
lobang-lobang pertanyaan hidup ini. Namun kenapa mereka tak lelah bahkan
berhenti membaca? Bahkan semakin gencarnya mereka membaca. Alasan kuat demi
memperkuat niat, lantaran bersyukur kepada Allah. Kalau kita bersyukur karena
Allah hanyalah tuhan apakah sama dengan mereka yang bersyukur karena Allah sang
pengcipta alam semesta yang maha akurat. Bukanlah ibadah akan semakin sempurna
jika kita semakin tahu sunnahnya dan faedahnya. Bukanlah kita akan semakin
banyak langkah strategi untuk berbisnis dengan macam problem.
Begitulah
Semurni-murninya
Tauhid, Setinggi-tinggi Ilmu, dan Secerdik-cerdiknya Siasat.
Jika tak
dimulai dengan “Iqro, Bacalah!”.